Biografi Ulama Fiqih imam As Syafi'i

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.

NASAB BELIAU

Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).

TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN

Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.

PERTUMBUHANNYA

Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.

Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang

KECERDASANNYA

Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:

1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.

2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.

3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.

4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.

Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”

MENUTUT ILMU

Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.

GURU-GURU BELIAU

Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.

Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:

1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya

Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;

1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.

Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:

1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.

MURID-MURID BELIAU

Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:

1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.

KARYA BELIAU

Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.

PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU

Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).

Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”

Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”

Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”

Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”

PRINSIP AQIDAH BELIAU

Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.

Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,

“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”

PRINSIP DALAM FIQIH

Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”

Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”

Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

PESAN IMAM ASY-SYAFI`I

“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”

WAFAT BELIAU

Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”

KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I

“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”

biografi imam muslim

Nama Lengkapnya adalah Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi (Bani Qusyair adalah sebuah kabilah Arab yang cukup dikenal) an-Naisaburi. Seorang imam besar dan penghapal hadits yang ternama. Ia lahir di Naisabur pada tahun 204 H. Para ulama sepakat atas keimamannya dalam hadits dan kedalaman pengetahuan nya tentang periwayatan hadits

Ia mempelajari hadits sejak kecil dan bepergian untuk mencarinya keberbagai kota besar. Di Khurasan ia mendenganr hadits dari Yahya bin Yahya, Ishaq bin Rahawaih dan lain lain. Di Ray ia mendengar dari Muhammad bin Mahran, Abu Ghassan dan lainnya, Di Hijaz ia mendengar hadits dari Sa’id bin Manshur, Abu Mash’ab dan lainnya, Di Iraq ia mendengar dari Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Muslimah dan lainnya, Di Mesir ia mendengar hadits dari Amr bin Sawad, Harmalah bin Yahyah dan beberapa lainnya.

Lantaran hubungan mempelajari hadits al-Bukhary, ia meninggalkan guru gurunya seperti: Muhammad ibn Yahya adz Dzuhaly.

Adapun yang meriwayatkan darinya diantaranya: At Tirmidzi, Abu Hatim, ar Razi, Ahmad bin Salamah, Musa bin Harun, Yahya bin Sha’id, Muhammad bin Mukhallad, Abu Awanah Ya’kub bin Ishaq al Isfira’ini, Muhammad bin Abdul Wahab al-Farra’, Ali bin Husain bin Muhammad bin Sufyan, yang terakhir ini adalah perawi Shahih Muslim.

Banyak sekali ulama hadits memujinya, Ahmad bin Salama berkata:” Abu Zur’ah dan Abu Hatim mendahulukan Muslim atas orang lain dalam bidang mengetahui hadits shahih.”.

Imam Muslim banyak menulis kitab diantaranya:kitab Shahihnya, kitab Al-Ilal, kitab Auham al-Muhadditsin, kitab Man Laisa lahu illa Rawin Wahid, kitab Thabaqat at-Tabi’in, kitab Al Mukhadlramin, kitab Al-Musnad al-Kabir ‘ala Asma’ ar-Rijal dan kitab Al-Jami’ al-Kabir ‘alal abwab.

Bersama Shahih Bukhari, Shahih Muslim merupakan kitab paling shahih sesudah Al-Quran. Umat menyebut kedua kitab shahih tersebut dengan baik. Namun kebanyakan berpendapat bahwa diantara kedua kitabnya, kitab Al-Bukhari lebih Shahih.

Imam Muslim sangat bangga dengan kitab shahihnya, mengingat jerih payah yang ia curahkan ketika mengumpulkannya. Ia meyusunnya dari 300.000 hadits yang ia dengar, oleh karena itu ia berkata:” Andaikata para ahli hadits selama 200 tahun menulis hadits, maka porosnya adalah al-Musnad ini (yakni kitab shahihnya)”.

Ia wafat di Naisabur pada tahun 271 H dalam usia 55 tahun.

Disalin dari Biografi Imam Muslim dalam Tadzkirat al-Huffadh 2/150, Tahdzib al-Asma’ An-Nawawi 10/126

biografi imam tirmidzi

Imam At-Tirmidzi (209-279 H)

Nama lengkapnya adalah Imam al-Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.

Perkembangan dan Perjalanannya

Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.

Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.

Guru-gurunya

Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.

Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.

Murid-muridnya

Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.

Kekuatan Hafalannya

Abu ‘Isa aat-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:

“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”

Pandangan Para Kritikus Hadits Terhadapnya

Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Siqat” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: “Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.

Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya

Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.” Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut: Sebagian ahli ilmu berkata: ” apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).” Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.” Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”

Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.

Karya-karyanya

Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya: 1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi. 2. Kitab Al-‘Ilal. 3. Kitab At-Tarikh. 4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah. 5. Kitab Az-Zuhd. 6. Kitab Al-Asma’ wal-kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.

Sekilas tentang Al-Jami’

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.

Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.

Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”

Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.

Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.

Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”

“Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.

Hadits-hadits da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.

Disalin dari Biografi Tirmidzi dalam Kutubus Sittah;Abu Syuhbah no.83

biografi imam ibnu majah

Nama sebenarnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Lahir tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhaddits ulung, mufassir dan seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.

Ia melakukan perjalanan ke berbagai kota untuk menulis hadits, anatara lain Ray, Basrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir dan Hijaz.
Ia menerima hadit dari guru gurunya antara lain Ibn Syaibah, Sahabatnya Malik dan al-Laits. Abu Ya’la berkata,” Ibnu Majah seorang ahli ilmu hadits dan mempunyai banyak kitab”.

Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.

Ibnu Katsir berkata,” Ibnu Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu menunjukan keluasan ilmunya dalam bidang Usul dan furu’, kitabnya mengandung 30 Kitab; 150 bab, 4.000 hadits, semuanya baik kecuali sedikit saja”.

Al-Imam al-Bushiri (w. 840) menulis ziadah (tambahan) hadits di dalam Sunan Abu Dawud yang tidak terdapat di dalam kitabul khomsah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i dan Sunan Tirmidzi) sebanyak 1552 hadits di dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah serta menunjukkan derajat shahih, hasan, dhaif maupun maudhu’. Oleh karena itu, penelitian terhadap hadits-hadits di dalamnya amatlah urgen dan penting.

Ia wafat pada tahun 273 H

biografi iam nasa'i

Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.

Pengembaraan intelektual

Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.

Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.

Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.

Guru dan murid

Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).

Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.

Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.

Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.

Kitab al-Mujtaba

Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan al-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.

Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.

Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.

Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.

Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.

Kritik Ibn al-Jauzy

Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangan beliau.

Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.

Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.

Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalam Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i berkualitas shahih.

Komentar Ulama

Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”

Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.

Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang figh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang figh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”

Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.

Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.

Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.

Tutup Usia

Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.

Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.