A. PENGERTIAN TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH
1. Pengertian Tafsir
Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsira yang berarti keterangan atau uraian. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafazh yang musykil. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut bahasa adalah al-Kasf wa al-Izhar” yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.1 Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak lepas dari kandungan makna al-Idhah (menjelaskan), al-Bayan (menerangkan) al-Kasf (mengungkapkan) al-Izhar (menampakan) dan al-Ibanah (menjelaskan).
Menurut Abu Hayyan:
Tafsir ialah ilmu mengenai cara pengucapan lafadh-lafadh al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.2
Menurut az-Zarkasy:
Tafsir ialah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna al-Qur’an yang di turunkan kepada Nabi Muhammad serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmah-hikmahnya.3
2. Pengertian Ta’wil
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal. Adapun mengenai arti ta’wil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafadh-lafadh (ayat-ayat) al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafadh itu. Dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafadh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya. Al-Qaththan dan al-Jurjani berpendapat bahwa ta’wil menurut lughot adalah “al-ruju ila al-ashl” (berarti kembali pada pokoknya).4 Sedangkan menurut az-Zarqani sama dengan pengertian tafsir.5
Kata sebagian Ulama:
Ta’wil adalah mengendalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud dari padanya. 6
3. Pengertian Tarjamah
Secara lafadh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisa al-’Arab:
Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan menggunakan fathah) adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis sebagaimana didefinisikan oleh ash-Sabuni sebagai berikut:
Tarjamah adalah memindahkan al-Qur’an kepada bahasa lain yang bukan Bahasa Arab dan mencetak tarjamah ini ke dalam beberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti Bahasa Arab sehingga Ia dapat memahami al-Qur’an dengan perantara tarjamah ini.7
Kata “tarjamah” dapat dipergunakan pada tiga arti:
a. Tarjamah harfiyah bi al mitsli, yaitu mengalihkan lafadh-lafadh dari satu bahasa ke dalam lafadh-lafadh yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
b. Tarjamah tafsiriyah atau tarjamah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
c. Tarjamah harfiyah bi dzuni al-mitsli, yaitu menyalin kata-kata bahasa asli ke bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya menurut kemampuan bahasa baru dan sejauh kemampuan penerjemahnya.
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
a. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa tarjamahnya;
b. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
c. Hendaknya dalam tarjamahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;
d. Hendaknya bentuk (sighat) tarjamahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa tarjamah tersebut.
B. PERBEDAAN TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH
Para Mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan Ta’wil.
Kata ar-Raghib al-Asfahany : Tafsir lebih umum dari takwil dan lebih banyak digunakan dalam lafadh dan kosa kata dalam al-Qur’an. Sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.8
Menurut Abu Thalib Ats Tsa’laby :
“Tafsir ialah menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, sedangkan ta’wil ialah menafsirkan bathin lafadh.9 Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedangkan ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Kata segolongan pula : Tafsir berpaut dengan Riwayat sedangkan ta’wil berpaut dengan Dirayat Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat, sedangkan ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang Bahasa Arab.10
Al-Maghraby dalam bukunya Al-Akhlaq Wal Wajibat:
Tafsir ialah tersembunyi makna ayat kepada sebahagiaan pendengar maka apabila engkau syarahkan lafadh-lafadh dari jurusan lughot, nahwu dan balaghah, difahamkan oleh pendengar itu dengan baik dan tenanglah jiwanya kepada makna tersebut. Ta’wil ialah ayat mempunyai beberapa makna yang semuanya dapat di terimanya maka setiap-tiap engkau sebut sesuatu makna demi satu makna dia ragu-ragu tidak tahu makna yang dipilihnya. Jadi ta’wil banyak dipakai pada ayat Mutasyabihat sedangkan tafsir banyak dipakai pada ayat Muhkamat. 11
Imam as-Suyuti dalam kitabnya al-Itqan Fi Ulumil Qur’an:
Tafsir adalah penjelasan makna al-Qur’an yang nyata sedangkan ta’wil adalah penjelasan para Ulama dari ayat yang maknanya tersirat serta rahasia-rahasia ke-Tuhanan yang terkandung dalam ayat al-Qur’an. 12
1. TAFSIR
a. Pemakaiannya banyak dalam lafadh-lafadh dan mufradat
b. Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
c. Banyak berhubungan dengan riwayat
d. Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
e. Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
2. TA’WIL
a. Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
b. Kebanyakan diproses oleh para ulama
c. Banyak berhubungan dengan dirayat
d. Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
e. Menerangkan hakikat yang dikehendaki
C. PEMBAGIAN TAFSIR
Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi al-Riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-Ma’tsur, dan tafsir bi al-Dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-Ra’y.
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah SAW, pendapat (aqwal) Sahabat, ataupun perkataan (aqwal) Tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para Sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para Tabi’in.
Jadi apabila merujuk pada definisi diatas ada empat otoritas yang menjadi penafsiran bi al-Ma’tsur :
a. Al-Qur’an yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap al-Qur’an sendiri. Misalnya penafsiran kata “muttaqin” pada surat Ali Imran ayat pertama dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, menjelalskan bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang maupun sempit
b. Otoritas hadits Nabi yang berfungsi sebagai penjelas atau mubayyin al-Qur’an. Misalnya penafsiran Nabi terhadap kata “az-zulm” pada surat Al-An’am dengan pengertian “syirik”
c. Otoritas penjelasan Sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an. Misalnya penafsiran Ibnu Abbas terhadap kandungan surat An-Nasr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
d. Otoritas penjelasan Tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan Sahabat. Misalnya penafsiran tabi’in terhadap surat As-Shoffat ayat 65 dengan syair “Imr Al-Qasy”.
Semua ayat-ayat al-Qur`an telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al-Qur`an setelah al-Qur`an itu sendiri, kepada para Sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al-Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al-Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis Nabi Muhammad saw yang dapat menafsirkan sebuah ayat al-Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para Sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah SAW.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil Ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:
a. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa Tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
b. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
c. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri.
Tafsir bil Ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah.
Diantara kitab yang dipandang menempuh corak bi al-Ma’tsur adalah :13
a. Jami Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, karya Ibn Jarrir Ath-Thabbari (w.310/923)
b. Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi (w.685/1286)
c. Al-Durr Al-Manstur Fi Attafsir Bi Al-Ma’tsur karya Jalal Ad-Din As-Suyuthi (w.911/1505)
d. Tanwil Al-Miqbas Fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w.817/1414)
e. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim karya Ibnu Katsir (w.774/1337)
Satu-satunya kitab tafsir bi al-Ma’tsur yang murni adalah tafsir al-Duurr al-Mantsur karya as-Suyuthi mengingat merupakan corak tafsir yang merujuk diantaranya kapada al-Quran dan al-Hadits. Tafsir bi al-Ma’tsur memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan corak penafsiran lainnya. Diantara keistimewaan itu sebagaimana dicatat Quraish Shihab adalah :14
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-quran
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c. mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus dalam subjektifitas yang berlebihan.
Sementara adz-Zahabi mencatat kelemahan tafsir bi al-Ma’tsur sebagai berikut :15
a. Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir. Pemalsuan itu terjadi pada tahun tahun perpecahan dikalangan umat islam yang menimbulkan berbagai aliran seperti Syiah, Khawarij dan Murji’ah. Sebab pemalsuan itu adalah fanatisme madzhab, politik dan usaha usaha umat islam .
b. Masuknya unsur-unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur Yahudi dan Nashrani yang masuk kedalam penafsiran al-Quran.
c. Penghilangan sanad. Eksistensi sanad yang menjadi salah satu kualifikasi keakuratan sebuah riwayat ternyata pada sebagian tafsir tidak ditemukan lagi. Akibatnya penilaian terhadap riwayat tersebut sulit dilakukan sehingga sulit juga membedakan mana yang sahih dan yang tidak. Tafsir Muqatil bin Sulaiman contoh tafsir yang tidak disertai dengan sanad.
d. Terjerumusnya Mufassir kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur.
e. Sering konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian hampir dapat dikatakan terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2. Tafsir Bi al-Dirayah atau disebut juga dengan tafsir Bi al-Ra’yi
Cara penafsiran bil Ma’qul atau lebih populer lagi bi al-Ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil Ma`tsur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip Bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Menurut Husen adz-Dzahabi, tafsir bi ar-Ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran Mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui Bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul, nasikh-mansukh dan sebagainya.16
Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi al - Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadzh bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafazh yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.
Mengenai keabsahan tafsir bi al-Ra’yi para Ulama terbagi kedalam dua kelompok yaitu :
Kelompok yang melarangnya. Bahkan menjelang abad 11 H corak penafsiran ini belum mandapatkan legitimasi dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak tafsir ini mengemukakan argumentasi sebagai berikut :17
a. Menafsirkan al-Qur’an berdasarkan Ra’yi berarti membicarakan (Firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil penafsirannya bersifat pemikiran semata.
b. Yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanya Nabi.
c. Rasulllah SAW bersabda : “Siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya maka persiapkanlah mengambil tempat di Neraka”
Kelompok yang mengijinkan. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut :18
a. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan al-Qur’an. Firman Allah swt :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci. (QS. Muhammad : 24)
b. Seandainya tafsir bi al-Ra’yi dilarang mengapa ijtihad diperbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat al-Qur’an. Ini menunjukan bahwa umatnya diizinkan untuk berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi .
c. Para Sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukan bahwa mereka pun menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yi nya.
d. Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibn Abas yang berbunyi : “Yaa Allah berilah pemahaman agama kepada Ibn Abbas dan ajarilah ia takwil”
Tafsir bi al-Ra’yi dapat diterima selama menghindari hal- hal sebagai berikut :19
a. Memeksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat sedangkan ia tidak memenuhi syarat.
b. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah
c. Menafsirkan al-Qur’an disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai sesuatu semata mata berdasarkan persepsinya)
d. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar.
e. Menafsirkan al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian tanpa didukung dalil.
Selama Mufassir bi-ar-Ra’yi menghindari kelima hal diatas dengan disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika tidak berarti menyimpang dari cara yang dibenarkan. Sehingga penafsirannya tidak dapat diterima.
Diantara contoh tafsir bi Ra’yi yang tidak diterima adalah sebagai berikut :20
a. Penafsiran golonga Syiah terhadap kata “Al-Baqarah” (QS. Al-Baqarah : 67) dengan ‘Aisyah RA.
b. Penafsiran sebagian Mufassir terhadap surat Al-Baqarah ayat 74.
c. Penafsiran sebagian Mufassir terhadap surat An-Nahl ayat 68.
d. Penafsiran sebagian orang terhadap surat Ar-Rahman ayat 33
e. Penafsiran sebagian orang terhadap surat Al-Humazah ayat 6-7
Diantara tafsir bi al-Ra’yi yang dapat dipercaya adalah :21
a. Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr Ar-Razi (w 606 H)
b. Anwar At-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya Al-Baidhawi (w.691 H)
c. Madarik At-Tazil wa Haqa’iq Al-Takwil, karya An-Nashafi (w.701 H)
d. Lubab at-Takwil fi Ma’ani At-Tanzil, karya Al-Khazin (w.741 H)
Kesimpulan
Al-Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan yang membacanya di pandang ibadah. Al-Qur’an mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tatacara hidup Manusia baik sebagai Makhluk Sosial maupun Makhluk Individu. Maka untuk memahami kandungan al-Qur’an agar mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui terjemahnya, tafsir dan takwilnya sesuai yang dicontohkan Rosulullah SAW sehingga tujuan ayat al-Qur’an tepat sasarannya.
Pengertian tarjamah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata tarjamah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan Ayat, Surat, Asbabun Nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi Ayat atau Surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak Firman-Firman Allah SWT tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al Qaththan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terjemahan Mabaahits fii ‘Uluumil Qur`an). Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa.
2. Ichwan, Mohammad Nor. 2005. Belajar Al-Qur’an Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis. Semarang: RaSAIL.
3. Masyhur, Kahar Drs. H..1992.Pokok Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta:PT. Rineka Cipta.
4. Abidin S.,Zainal. 1992.Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta
5. Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi Prof. Dr. 1987.Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir: PT Bulan Bintang
6. Anwar, Rosihon. 2008. Ulum Al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia
Ta’wil adalah mengendalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud dari padanya. 6
3. Pengertian Tarjamah
Secara lafadh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisa al-’Arab:
Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan menggunakan fathah) adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis sebagaimana didefinisikan oleh ash-Sabuni sebagai berikut:
Tarjamah adalah memindahkan al-Qur’an kepada bahasa lain yang bukan Bahasa Arab dan mencetak tarjamah ini ke dalam beberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti Bahasa Arab sehingga Ia dapat memahami al-Qur’an dengan perantara tarjamah ini.7
Kata “tarjamah” dapat dipergunakan pada tiga arti:
a. Tarjamah harfiyah bi al mitsli, yaitu mengalihkan lafadh-lafadh dari satu bahasa ke dalam lafadh-lafadh yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
b. Tarjamah tafsiriyah atau tarjamah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
c. Tarjamah harfiyah bi dzuni al-mitsli, yaitu menyalin kata-kata bahasa asli ke bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya menurut kemampuan bahasa baru dan sejauh kemampuan penerjemahnya.
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
a. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa tarjamahnya;
b. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
c. Hendaknya dalam tarjamahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;
d. Hendaknya bentuk (sighat) tarjamahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa tarjamah tersebut.
B. PERBEDAAN TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH
Para Mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan Ta’wil.
Kata ar-Raghib al-Asfahany : Tafsir lebih umum dari takwil dan lebih banyak digunakan dalam lafadh dan kosa kata dalam al-Qur’an. Sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.8
Menurut Abu Thalib Ats Tsa’laby :
“Tafsir ialah menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, sedangkan ta’wil ialah menafsirkan bathin lafadh.9 Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedangkan ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Kata segolongan pula : Tafsir berpaut dengan Riwayat sedangkan ta’wil berpaut dengan Dirayat Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat, sedangkan ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang Bahasa Arab.10
Al-Maghraby dalam bukunya Al-Akhlaq Wal Wajibat:
Tafsir ialah tersembunyi makna ayat kepada sebahagiaan pendengar maka apabila engkau syarahkan lafadh-lafadh dari jurusan lughot, nahwu dan balaghah, difahamkan oleh pendengar itu dengan baik dan tenanglah jiwanya kepada makna tersebut. Ta’wil ialah ayat mempunyai beberapa makna yang semuanya dapat di terimanya maka setiap-tiap engkau sebut sesuatu makna demi satu makna dia ragu-ragu tidak tahu makna yang dipilihnya. Jadi ta’wil banyak dipakai pada ayat Mutasyabihat sedangkan tafsir banyak dipakai pada ayat Muhkamat. 11
Imam as-Suyuti dalam kitabnya al-Itqan Fi Ulumil Qur’an:
Tafsir adalah penjelasan makna al-Qur’an yang nyata sedangkan ta’wil adalah penjelasan para Ulama dari ayat yang maknanya tersirat serta rahasia-rahasia ke-Tuhanan yang terkandung dalam ayat al-Qur’an. 12
1. TAFSIR
a. Pemakaiannya banyak dalam lafadh-lafadh dan mufradat
b. Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
c. Banyak berhubungan dengan riwayat
d. Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
e. Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
2. TA’WIL
a. Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
b. Kebanyakan diproses oleh para ulama
c. Banyak berhubungan dengan dirayat
d. Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
e. Menerangkan hakikat yang dikehendaki
C. PEMBAGIAN TAFSIR
Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi al-Riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-Ma’tsur, dan tafsir bi al-Dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-Ra’y.
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah SAW, pendapat (aqwal) Sahabat, ataupun perkataan (aqwal) Tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para Sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para Tabi’in.
Jadi apabila merujuk pada definisi diatas ada empat otoritas yang menjadi penafsiran bi al-Ma’tsur :
a. Al-Qur’an yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap al-Qur’an sendiri. Misalnya penafsiran kata “muttaqin” pada surat Ali Imran ayat pertama dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, menjelalskan bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang maupun sempit
b. Otoritas hadits Nabi yang berfungsi sebagai penjelas atau mubayyin al-Qur’an. Misalnya penafsiran Nabi terhadap kata “az-zulm” pada surat Al-An’am dengan pengertian “syirik”
c. Otoritas penjelasan Sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an. Misalnya penafsiran Ibnu Abbas terhadap kandungan surat An-Nasr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
d. Otoritas penjelasan Tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan Sahabat. Misalnya penafsiran tabi’in terhadap surat As-Shoffat ayat 65 dengan syair “Imr Al-Qasy”.
Semua ayat-ayat al-Qur`an telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al-Qur`an setelah al-Qur`an itu sendiri, kepada para Sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al-Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al-Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis Nabi Muhammad saw yang dapat menafsirkan sebuah ayat al-Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para Sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah SAW.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil Ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:
a. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa Tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
b. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
c. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri.
Tafsir bil Ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah.
Diantara kitab yang dipandang menempuh corak bi al-Ma’tsur adalah :13
a. Jami Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, karya Ibn Jarrir Ath-Thabbari (w.310/923)
b. Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi (w.685/1286)
c. Al-Durr Al-Manstur Fi Attafsir Bi Al-Ma’tsur karya Jalal Ad-Din As-Suyuthi (w.911/1505)
d. Tanwil Al-Miqbas Fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w.817/1414)
e. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim karya Ibnu Katsir (w.774/1337)
Satu-satunya kitab tafsir bi al-Ma’tsur yang murni adalah tafsir al-Duurr al-Mantsur karya as-Suyuthi mengingat merupakan corak tafsir yang merujuk diantaranya kapada al-Quran dan al-Hadits. Tafsir bi al-Ma’tsur memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan corak penafsiran lainnya. Diantara keistimewaan itu sebagaimana dicatat Quraish Shihab adalah :14
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-quran
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c. mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus dalam subjektifitas yang berlebihan.
Sementara adz-Zahabi mencatat kelemahan tafsir bi al-Ma’tsur sebagai berikut :15
a. Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir. Pemalsuan itu terjadi pada tahun tahun perpecahan dikalangan umat islam yang menimbulkan berbagai aliran seperti Syiah, Khawarij dan Murji’ah. Sebab pemalsuan itu adalah fanatisme madzhab, politik dan usaha usaha umat islam .
b. Masuknya unsur-unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur Yahudi dan Nashrani yang masuk kedalam penafsiran al-Quran.
c. Penghilangan sanad. Eksistensi sanad yang menjadi salah satu kualifikasi keakuratan sebuah riwayat ternyata pada sebagian tafsir tidak ditemukan lagi. Akibatnya penilaian terhadap riwayat tersebut sulit dilakukan sehingga sulit juga membedakan mana yang sahih dan yang tidak. Tafsir Muqatil bin Sulaiman contoh tafsir yang tidak disertai dengan sanad.
d. Terjerumusnya Mufassir kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur.
e. Sering konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian hampir dapat dikatakan terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2. Tafsir Bi al-Dirayah atau disebut juga dengan tafsir Bi al-Ra’yi
Cara penafsiran bil Ma’qul atau lebih populer lagi bi al-Ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil Ma`tsur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip Bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Menurut Husen adz-Dzahabi, tafsir bi ar-Ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran Mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui Bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul, nasikh-mansukh dan sebagainya.16
Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi al - Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadzh bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafazh yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.
Mengenai keabsahan tafsir bi al-Ra’yi para Ulama terbagi kedalam dua kelompok yaitu :
Kelompok yang melarangnya. Bahkan menjelang abad 11 H corak penafsiran ini belum mandapatkan legitimasi dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak tafsir ini mengemukakan argumentasi sebagai berikut :17
a. Menafsirkan al-Qur’an berdasarkan Ra’yi berarti membicarakan (Firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil penafsirannya bersifat pemikiran semata.
b. Yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanya Nabi.
c. Rasulllah SAW bersabda : “Siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya maka persiapkanlah mengambil tempat di Neraka”
Kelompok yang mengijinkan. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut :18
a. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan al-Qur’an. Firman Allah swt :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci. (QS. Muhammad : 24)
b. Seandainya tafsir bi al-Ra’yi dilarang mengapa ijtihad diperbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat al-Qur’an. Ini menunjukan bahwa umatnya diizinkan untuk berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi .
c. Para Sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukan bahwa mereka pun menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yi nya.
d. Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibn Abas yang berbunyi : “Yaa Allah berilah pemahaman agama kepada Ibn Abbas dan ajarilah ia takwil”
Tafsir bi al-Ra’yi dapat diterima selama menghindari hal- hal sebagai berikut :19
a. Memeksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat sedangkan ia tidak memenuhi syarat.
b. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah
c. Menafsirkan al-Qur’an disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai sesuatu semata mata berdasarkan persepsinya)
d. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar.
e. Menafsirkan al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian tanpa didukung dalil.
Selama Mufassir bi-ar-Ra’yi menghindari kelima hal diatas dengan disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika tidak berarti menyimpang dari cara yang dibenarkan. Sehingga penafsirannya tidak dapat diterima.
Diantara contoh tafsir bi Ra’yi yang tidak diterima adalah sebagai berikut :20
a. Penafsiran golonga Syiah terhadap kata “Al-Baqarah” (QS. Al-Baqarah : 67) dengan ‘Aisyah RA.
b. Penafsiran sebagian Mufassir terhadap surat Al-Baqarah ayat 74.
c. Penafsiran sebagian Mufassir terhadap surat An-Nahl ayat 68.
d. Penafsiran sebagian orang terhadap surat Ar-Rahman ayat 33
e. Penafsiran sebagian orang terhadap surat Al-Humazah ayat 6-7
Diantara tafsir bi al-Ra’yi yang dapat dipercaya adalah :21
a. Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr Ar-Razi (w 606 H)
b. Anwar At-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya Al-Baidhawi (w.691 H)
c. Madarik At-Tazil wa Haqa’iq Al-Takwil, karya An-Nashafi (w.701 H)
d. Lubab at-Takwil fi Ma’ani At-Tanzil, karya Al-Khazin (w.741 H)
Kesimpulan
Al-Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan yang membacanya di pandang ibadah. Al-Qur’an mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tatacara hidup Manusia baik sebagai Makhluk Sosial maupun Makhluk Individu. Maka untuk memahami kandungan al-Qur’an agar mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui terjemahnya, tafsir dan takwilnya sesuai yang dicontohkan Rosulullah SAW sehingga tujuan ayat al-Qur’an tepat sasarannya.
Pengertian tarjamah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata tarjamah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan Ayat, Surat, Asbabun Nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi Ayat atau Surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak Firman-Firman Allah SWT tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al Qaththan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terjemahan Mabaahits fii ‘Uluumil Qur`an). Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa.
2. Ichwan, Mohammad Nor. 2005. Belajar Al-Qur’an Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis. Semarang: RaSAIL.
3. Masyhur, Kahar Drs. H..1992.Pokok Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta:PT. Rineka Cipta.
4. Abidin S.,Zainal. 1992.Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta
5. Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi Prof. Dr. 1987.Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir: PT Bulan Bintang
6. Anwar, Rosihon. 2008. Ulum Al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia
Catatan Kaki
1. Ulum Al-Qur’an ,Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 2092. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 210
3. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 210
4. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 211
5. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 211
6. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran (Tafsir), Jakarta, Prof.DR.T.M.Hasbi ash-Shiddieqy,1989, halaman 180
7. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 212
8. Ulum Al-Qur’an ,Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 213
9. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 214
10. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an (Tafsir), Jakarta, Prof.DR.T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, 1989, halaman 182
11. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an (Tafsir), Jakarta, Prof.DR.T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, 1989, halaman 184
12. Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung, Prof.Dr.Muhammad Ali ash-Shabuni, 1998, halaman 247
13. Ulum Al-Qur’an,Bandung, DR. Rosihon Anwar, 2008, halaman 216
14. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR. Rosihon Anwar, 2008, halaman 217
15. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR. Rosihon Anwar, 2008, halaman 218
16. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR. Rosihon Anwar, 2008, halaman 220
17. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 221
18. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 223
19. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 224
20. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 225
21. Ulum Al-Qur’an, Bandung, DR.Rosihon Anwar, 2008, halaman 226
Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal