A.Biografi
a.Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani
adalah tokoh yang terkemuka, yang menjadi sentral umat Islam pada abad ke XIX.
Keluarganya keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang selanjutnya
silsilahnya bertemu dengan keturunan ahli sunnah yang termasyhur Ali
at-Tirmidzi. Jamaluddin al-Afghani dilahirkan di Asad Abad dekat dengan suatu
distrik di Kabul Afghanistan pada tahun 1839 M. Pendidikannya sejak kecil sudah
diajarkan mengaji al-Qur’an dari ayahnya sendiri, besar sedikit lagi belajar
bahasa Arab dan sejarah, serta mengkaji ilmu syari’at seperti tafsir, hadits,
fiqih, usul fiqh dan lain-lain.
Kemudian beliau meninggal dunia di Istambul tahun 1897.
b.Muhammad Abduh
Kapan dan di mana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui
secara pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak
mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah
tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ia lahir di suatu desa di
Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr.
Bapak Muhammad Abduh
bernama Abduh Hasan Khairulah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Ibunya berasal ari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku
bangsa Umar ibn al-Khattab.
Muhammad Abduh di suruh belajar menulis dan membaca setelah
mahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal al-Qur'an. Hanya
dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal al-Qur'an secara keseluruhan.
Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di
tahun 1862, setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti apa-apa karena
disana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajarannya
dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (usia
16 tahun) iapun menikah. Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk
kembali belajar ke Tanta. Iapun pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di
rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu
keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya
membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduhpun berubah sikapnya sehingga
kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Selepas dari Tanta, ia melanjutkan studi di al-Azhar dari
tahun 1869-1877 dan ia mendapat predikat “’alim”. Di sanalah ia bertemu dengan
Jamaluddin al-Afghani yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari
al-Afghani yang kemudian belajar logika. Filsafat, teologi dan tasawuf.
Pengaruh pemikiran al-Afghani terhadap Abduh begitu besar,
ide-ide pembaharuan yang dibawa al-Afghani banyak mempengaruhi Abduh. Bedanya,
al-Afghani lebih menekankan pembaharuan di bidang politik, sedangkan Abduh
dibidang pendidikan.
B.Konsep
Teologi
a.
Jamaluddin al-afgani
Jamaluddin al-Afghani adalah seorang muslim sejati dan
seorang rasionalis dan ia menuntut kepada semua aliran untuk menjadikan akal
sebagai dasar utama untuk mencapai keagungan Islam, karena akal menempati
kedudukan istimewa dalam dunia Islam. Jamaluddin al-Afghani sebagai seorang
yang bersemangat menjunjung tinggi kedudukan akal, mendukung aliran Mu’tazilah
yang mempunyai doktrin tentang pembahasan diri dari ajaran takdir yang orang
barat disebut Fatalisme.
Mengenai hal ini
menurut Jamaluddin al-Afghani, adapun yang dikatakan qada dan qodar yang
dikatakan “predestination” dalam bahasa Inggris sebagai tujuan
permulaan.
Menurut al-Jabr (fatalism),
qada dan qodar adalah penyerahan diri secara mutlak tanpa usaha dan ini suatu
ajaran baru (bid’ah) dalam agama yang dimasukkan dalam ajaran Islam oleh musuh
Islam untuk suatu tujuan politik tertentu agar Islam hancur dari dalam.
Jamaluddin al-Afghani
sebagai orang Islam mengakui bahwa kepercayaan asasi. Tidak ada kepercayaan
kepada takdir adalah kehilangan salah satu tonggak dari iman. Kepercayaan
inilah yang menyebabkan umat Islam jaman dahulu, nabi-nabi dan sahabatnya dan
salafus shalihin dapat merebut dunia dan mengaturnya. Menurut dia, timbulnya
kerusakan di kalangan muslim antara lain : dari kepercayaan al-Jabr ini dan
kesalahan dalam memahami qada dan qodar, sehingga memalingkan jiwa umat dari
bersungguh-sungguh dalam usaha dan umat Islam di masa silam bersifat dinamis.
b.Muhammad Abduh
Menurut Muhammad Abduh, teologi adalah ilmu yang membahas wujud Allah,
sifat-sifat-Nya, dan masalah kenabian. Menurut Harun Nasution, definisi yang
diberikan Abduh tersebut kurang lengkap. Alam ini adalah ciptaan Tuhan, oleh
karena itu, teologi disamping hal-hal di atas juga memuat hubungan Tuhan dengan
makhluk-Nya.
Kata kunci dalam pembahasan teologi adalah akal dan wahyu
Bagi Muhammad Abduh,
akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan adanya
kehidupan dibalik kehidupan dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kebaikan adalah dasar kebahagiaan dan
kejahatan adalah dasar kesengsaraan di akhirat. Akan tetapi, daya akal tiap manusia itu berbeda. Perbedaan itu,
tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pendidikan, tapi juga perbedaan pembawaan
alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak manusia. Oleh karena itu, ia
membagi manusia ke dalam dua golongan : khawas dan awam.
Keharusan manusia untuk
menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya,
tapi juga merupakan ajaran al-Qur’an kitab suci ini, memerintahkan kita untuk
berfikir dan melarang kita memakai sikap taklid.
Abduh sangat menentang
taklid. Menurutnya, taklid adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam
abad 19 dan 20. Ia amat menyesalkan sikap taklid yang mencakup tiap aspek
kehidupan. Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga
pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat.
Mengenai wahyu, menurut
Abduh, ia mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Wahyu memberi
keyakinan kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada setelah tubuh mati. Wahyu
menolong akal untuk mengetahui akhirat dan keadaan hidup manusia di sana,
b. Wahyu menolong akal
dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya
sebagai sumber ketenteraman hidup dalam masyarakat,
c. Wahyu menolong akal
agar dapat mengetahui cara beribadah, dan berterimakasih pada Allah,
d. Wahyu mempunyai
fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal melalui sifat kesucian dan
kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang bisa membuat orang manfaat.
Secara garis besar,
sistem pemikiran teologi Abduh, wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi
konfirmasi dan informasi, sehingga baginya wahyu itu sangat diperlukan untuk
menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh melalui akal.
Akal dan wahyu mempunyai
hubungan yang sangat erat, karena akal memerlukan wahyu, tapi wahyu itu tidak
mungkin berlawanan dengan akal. Jika nampak pada lahirnya wahyu itu berlawanan
dengan akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal untuk memberi
interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan tidak berlawanan
dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara wahyu dan akal dapat terjalin
harmonis.
Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal