1) Aliran Khawarij
Khawarij
menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan
demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat
diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa
dan setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman,
orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan orang-orang yang rela
terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan
wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.[11]
Dalam
pandangan Khawarij, iman tidak semata-mata percaya kepada Allah.
Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman
kepada Allah dan mengakui Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak
melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia
dipandang kafir oleh Khawarij.[12]
Iman menurut Kwaharij bukanlah tashdiq. Dan
iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar,
orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang
mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tashdiq,
bukan pula ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari
mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan
perintah-perintah Tuhan. [13]
Menurut subsekte Murji’ah yang ekstrim,
mereka berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh
karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan
keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Sementara
yang dimaksud Murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia
tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Ciri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman, di samping tashdiq (ma’rifah).[14]
3) Aliran Mu'tazilah
Seluruh
pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu
unsur terpenting dalam konsep iman. Aspek penting lainnya dalam konsep
Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai
ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi unsur penting dari
iman karena pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional.[15]
Disini terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya
pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan. Harun Nasution
menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat
diperoleh dengan perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui
dengan pemikiran yang mendalam. [16]
Pandangan
Mu’tazilah seperti ini, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam
asal Jepang, menyatakan pendapatnya bahwa hal ini sarat dengan
konsekuensi yang cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim
(teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi orang yang beriman,
sedangkan masyarakat awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang
sebagai orang yang benar-benar beriman (mukmin).[17]
Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar
dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini
mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang
ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula oleh Khawarij.[18]
4) Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, iman secara esensial adalah tashdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qawl dengan lesan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang)
iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan
kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya
beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan
sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari
salah satu dari hal-hal tersebut. Jadi Asy-Syahrastani menempatkan ketiga unsur iman yaitu tashdiq, qawl, dan amal pada posisinya masing-masing.[19]
5) Maturidiyah
Dalam
masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman
adalah Tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.[20]
Maturidiyah
Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al–Bazdawi menyatakan
bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya
ibadah-ibadah yang dilakukan. Al–Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan
membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai
bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan
oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran
bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.[21]
Iman adalah tashdiq
dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain, seseorang
bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran
Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini
juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. yang penting tashdiq dan ikrarLabels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal